Minggu, 07 Agustus 2011

Nifas setelah Kiret-Kiret

Kuret (pembersihan rahim) biasanya dilakukan untuk memastikan tidak ada yang
tertinggal yang dapat mengakibatkan infeksi di kemudian hari serta merusak
kesuburan wanita itu nantinya.

Kuret dilakukan apabila terjadi keguguran pada seorang wanita, sedangkan
arti Keguguran adalah ; persalinan prematur janin sebelum si janin mampu
hidup sendiri. Sebagian besar keguguran terjadi pada kehamilan dini, selama
tiga bulan pertama. Ada yang malah terjadi sangat dini sehingga yang
bersangkutan tidak mengetahui bahwa ia sedang mengandung.

Salah satu tanda keguguran dalam masa tiga bulan pertama kehamilan biasanya
adalah adanya sedikit perdarahan, seperti pada awal haid. Tanda tersebut
akan berlangsung beberapa hari, bila perdarahan tersebut semakin hebat atau
kejang yang hebat muncul, biasanya ini merupakan abortus yang tidak dapat
dihindari.

Terkadang keguguran muncul setelah tiga bulan pertama kehamilan, dan mungkin
berlangsung secara tiba-tiba tanpa ada gejala perdarahan maupun rasa sakit
yang hebat.

Dalam masalah keguguran, para ulama telah banyak menjelaskan hukum-hukumnya,
dan insya Allah saya akan salinkan beberapa diantaranya yang diambil dari
kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah (Fatwa-Fatwa Tentang
Wanita).

HUKUM DARAH YANG MENYERTAI KEGUGURAN PREMATUR SEBELUM SEMPURNANYA BENTUK
JANIN DAN SETELAH SEMPURNANYA JANIN.


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Di antara para wanita hamil terkadang
ada yang mengalami keguguran, ada yang janinnya telah sempurna bentuknya dan
ada pula yang belum berbentuk, saya harap Anda dapat menerangkan tentang
shalat pada kedua kondisi ini ?

Jawaban.
Jika seorang wanita melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, yaitu ada
tangannya, kakinya dan kepalanya, maka dia itu dalam keadaan nifas, berlaku
baginya ketetapan-ketetapan hukum nifas, yaitu tidak berpuasa, tidak
melakukan shalat dan tidak dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya
hingga ia menjadi suci atau mencapai empat puluh hari, dan jika ia telah
mendapatkan kesuciannya dengan tidak mengeluarkan darah sebelum mencapai
empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi kemudian shalat dan berpuasa
jika di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya,
tidak ada batasan minimal pada masa nifas seorang wanita, jika seorang
wanita telah suci dengan tidak mengeluarkan darah setelah sepuluh hari dari
kelahiran atau kurang dari sepuluh hari atau lebih dari sepuluh hari, maka
wajib baginya untuk mandi kemudian setelah itu ia dikenakan ketetapan hukum
sebagaimana wanita suci lainnya sebagaimana disebutkan diatas, dan darah
yang keluar setelah empat puluh hari ini adalah darah rusak (darah
penyakit), jadi ia tetap diwajibkan untuk berpuasa, sebab darah yang
dikelurkan itu termasuk ke dalam katagori darah istihadhah, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah
binti Abu Hubaisy, yang mana saat itu ia 'mustahadhah' (mengeluarkan darah
istihadhah) : "Berwudhulah engkau setiap kali waktu shalat". Dan jika
terhentinya darah nifas itu diteruskan oleh mengalirnya darah haidh setelah
empat puluh hari, maka wanita itu dikenakan hukum haidh, yaitu tidak
dibolehkan baginya berpuasa, melaksanakan shalat hingga habis masa haidh
itu, dan diharamkan bagi suaminya menyetubuhinya pada masa itu.

Sedangkan jika yang dilahirkan wanita itu janin yang belum berbentuk manusia
melainkan segumpal daging saja yang tidak memiliki bentuk atau hanya
segumpal darah saja, maka pada saat itu wanita tersebut dikenakan hukum
mustahadhah, yaitu hukum wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, bukan
hukum wanita yang sedang nifas dan juga bukan hukum wanita haidh. Untuk itu
wajib baginya melaksanakan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan dan
dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya, dan hendaknya ia berwudhu
setiap akan melaksanakan shalat serta mewaspadainya keluarnya darah dengan
menggunakan kapas atau sejenisnya sebagaimana layaknya yang dilakukan wanita
yang msutahadhah, dan dibolehkan baginya untuk menjama' dua shalat, yaitu
Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'. Dan disyariatkan pula baginya
mandi untuk kedua gabungan shalat dan shalat Shubuh berdasarkan hadits
Hammah bintu Zahsy yang menetapkan hal itu, karena wanita yang seperti ini
dikenakan hukum mustahadhah menurut para ulama. [Kitab Fatawa Ad-Da'wah,
Syaikh Ibnu Baaz, 2/75]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-1, hal 75-76, Darul Haq]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih telah berkunjung